Selasa, 11 Juni 2013

Romantisme Merapi



Sore itu udara di kota jogja cukup lembab. Gerimis yang turun sejak siang meninggalkan genangan2 air di pekarangan asrama. Kami ber 7 sibuk dengan carrier masing2, memasukkan barang2 yang akan kami bawa ke dalam tas khusus pendakian itu. Carrier2 itu berbentuk memanjang ke atas, dengan frame aluminium yang berfungsi untuk menjaga postur tubuh agar tetap tegak.
Carrier yang gw pakai berukuran sekitar 45 liter, dengan warna biru-putih yang cukup mencolok. Gw mulai menyusun isi carrier dengan memasukkan matras dan mengaturnya menjadi lapisan bagian dalam. Dengan begitu, carrier akan lebih berbentuk dan berdiri tanpa harus dipegang. ya, gw gak mau repot menahan tas besar itu setiap istirahat. 

 Matahari mulai turun di ujung barat cakrawala, membiaskan warna kuning keemasan yang menyejukkan. Kita berangkat dari asrama menuju ke Selo, basecamp pendakian. Jalan kaliurang sore itu penuh dengan para pekerja dan mahasiswa yang baru pulang. Mereka semua memenuhi jalan, sebuah pemandangan yang selalu bisa disaksikan di sore hari. Nun jauh di atas, segerombolan awan sisa2 hujan berarak menutupi puncak Merapi
Melewati jalan magelang, gw memacu sepeda motor semakin kencang. Suasana makin gelap, dengan genangan air yang masih terlihat di pinggir jalan. Udara dingin mulai menusuk tulang, seiring dengan semakin banyaknya belokan jalan. Udara dingin yang menyegarkan, ciri khas pegunungan
Memasuki daerah Selo, dua bayangan raksasa yang hitam pekat menghadang kami. Gunung Merapi dan Merbabu. Sinar rembulan yang pucat menerobos daun-daun pohon di lereng kedua gunung. Sesekali tertutup awan yang tidak ingin ketinggalan dalam keindahan suasana malam itu. Jauh di atas sana, puncak Merapi menghembuskan asap tipis.
Kami sampai di basecamp sekitar pukul 7 malam. Bangunannya berupa rumah tradisional dengan 2 bangunan utama. Dibelakang, ada sebuah kamar mandi tanpa lampu, dengan air yang sedingin es. Bagian dalam ruangan sudah penuh dengan motor. Terlihat beberapa kelompok pendaki yang sedang istirahat dan menyusun ulang carrier mereka untuk pendakian malam hari. Kami sendiri memilih untuk istirahat dan memulai pendakian pada pagi hari.
Beralaskan tikar, kami mengisi perut yang kosong dengan nasi goreng. Makanan yang cukup mengisi perut kami, walaupun nasinya terasa kurang matang.
Kami langsung mengeluarkan sleeping bag dan mulai mencoba memejamkan mata. Mencoba melawan dingin yang menusuk kaki2, walaupun sudah memakai kaos kaki tebal.
Pagi itu cuaca cukup cerah, cuaca yg tepat untuk pendakian. Di sebelah utara terlihat hamparan hijau lereng gunung Merbabu. Terlihat awan menutupi ketiga puncaknya yang menjulang tinggi. Setelah bersiap2 dan menambah perbekalan dari pasar terdekat, kami memulai pendakian.
Jalur awal masih berupa jalan aspal sepanjang sekitar 500 m. terlihat beberapa penduduk yang mulai beraktivitas pada pagi itu. Beberapa terlihat mengumpulkan rerumputan, sedangkan yg lain bergegas menuju ke pasar di bagian bawah lereng. Jalur aspal ini berakhir di sebuah tempat bernama New Selo.
Tempat ini berupa sebuah daerah datar dengan beberapa bangunan warung dan sebuah pendopo. Terlihat beberapa bangunan baru saja direnovasi, setelah bencana erupsi merapi pada 2010 lalu.
Dari sini, Merbabu terlihat sangat jelas. Gw memandangi lereng Merbabu yang berlekuk berwarna kehijauan. Matahari mulai menyembul dari bagian celah kedua gunung ini. Gw melirik jam tangan, pukul 7.30. Langit yang cerah kebiruan, udara yang sejuk. It’s a great time…
Kami melanjutkan lagi perjalanan. Dari New Selo, jalan mulai berubah menjadi jalan setapak. Terlihat tanah yang masih agak lembab akibat embun pagi tadi. Tanaman pertanian khas pegunungan masih terlihat di kanan jalan. Sementara di kiri kami, terbuka jurang yang memanjang dari atas ke bawah sedalam sekitar 20 m.
Kami berpapasan dengan beberapa masyarakat yang sedang berkebun. Mengucapkan salam adalah hal yang biasa dilakukan disini.
Terkadang kami harus memepetkan badan ke arah tanggul2 ladang di kanan kami, atau ke bibir jurang di kiri kami apabila berpapasan dengan orang. Jalan setapak yang sempit cukup menyulitkan di awal2 pendakian.
Tanaman di sekitar kami mulai berubah. Tidak lagi terlihat ladang penduduk. Vegetasi mulai berganti menjadi pohon-pohon besar yang rapat. Beberapa burung jalak terbang berkeliling di sekitar kami.
Sesekali kami berhenti untuk membongkar minuman, ataupun sekedar untuk mengatur napas yang terengah-engah. Udara terasa semakin dingin, dan oksigen mulai sedikit berkurang. Kami berusaha untuk tetap bergerak agar tetap hangat.
Gw kembali melirik jam tangan. Pukul 11.45. kabut terlihat bergerak dari lereng jurang yang tampak hijau pudar, tertutup tebalnya kabut. Semburat cahaya matahari terlihat menyelusup melalui kabut.
Kami sampai di batas vegetasi Merapi. Tanah yang kami injak kini sudah berubah menjadi batu-batu vulkanik. Kami sampai di daerah pos 2, pos terakhir pendakian. Kita beristirahat sejenak sambil membasahi kerongkongan. Terlihat sudah cukup banyak pendaki yang telah mendirikan tenda di pos ini. Pos yang menjadi batas vegetasi ini memang menjadi salah satu pilihan utama tempat pendirian camp.
Kami melanjutkan perjalanan. Jalan setapak yang berupa batu dan pasir yang kami lewati berada di punggung bukit. Di kiri-kanan jalur menganga jurang yang tertutup oleh kabut. Gw melirik ke bawah. Yang terlihat hanya warna putih keruh, seolah2 jurang-jurang ini tak berujung.
Di depan kami samar-samar terlihat batu vulkanik yang sangat besar. Para pendaki menyebutnya Watu Gajah. Ya, batu abu-abu ini ukurannya memang besar, kira-kira sebesar bis dua tingkat. Gw cuma bisa membayangkan, gimana batu sebesar itu bisa terlontar keluar dari kawah Merapi.
Gw akhirnya sampai di puncak bukit itu. Kabut mulai menghilang sedikit demi sedikit. Di depan gw, terlihat batu peringatan untuk para pendaki yang wafat di jalur pendakian ini. Batu yang juga mengingatkan kita betapa besarnya kekuasan Sang Maha Kuasa. 
Cahaya matahari yang masih tertutup kabut memberikan suasana yang sendu di tempat itu. Gw selalu menikmati suasana ini. Salah satu alasan gw untuk selalu kembali ke gunung…
Di bawah, terlihat sebuah daerah lapang yang cukup datar dan luas yang penuh dengan bebatuan dan pasir. Di sebelah utara terlihat sebuah menara yang tingginya sekitar 4 m yang dikelilingi oleh pagar besi berkarat. Alat inilah yang selalu memantau aktivitas gunung teraktif di Indonesia ini setiap saat.
Tepat di depan bukit tempat gw berdiri, menjulang sebuah bayangan besar hitam yang tertutup kabut tipis. Puncak Merapi berdiri dengan gagahnya, menghembuskan asap tipis di bagian puncaknya.
Para pendaki dan masyarakat sekitar menyebut daerah ini Pasar Bubrah. Daerah ini juga salah satu tempat pilihan untuk membangun camp sebelum melakukan Summit Attack. Letaknya yang tepat dibawah puncak Merapi menawarkan lansekap yang sangat indah. Meski begitu, resiko yang diberikan juga cukup besar. Daerah yang cukup luas dan terbuka tanpa vegetasi menyebabkan kemungkinan terjadinya badai cukup besar, bahkan pada siang hari.
Belum terlihat ada pendaki yang membangun camp. Kami dengan leluasa memilih tempat terbaik. Kami mendirikan tenda disamping sebuah batu setinggi 2 m. batu ini akan sangat berguna sebagai pemecah angin.
Kami menghabiskan waktu sore itu dengan beristirahat. Dari jauh samar-samar terdengar sekelompok pendaki yang baru tiba. Mereka juga memilih untuk membangun camp di sini.
Malamnya seperti biasa, kami menghabiskan waktu dengan memasak dan mengisi perut. Ternyata keberadaan wanita memang sangat memberi perbedaan. Kami bisa makan nasi lengkap dengan sayurnya karena mereka
Gw melirik jam tangan, sekitar pukul 10 malam. Gw keluar dari tenda untuk buang air. Terlihat bulan bersinar terang di atas puncak Merapi. Awan yang berarak beriringan sesekali menutupi sinarnya.
Gw berusaha menghangatkan tangan dengan memasukkannya ke dalam kantong jaket coklat gw. Iyus yang juga ikut keluar mulai menyalakan kompor untuk menyedu kopi. Gw mendekatkan tangan ke nyala api kompor. Dan dalam waktu beberapa menit kami semua sudah berkumpul di sekeliling kompor. 
Malam itu, ksmi ngobrolin apapun, dengan segelas kopi yang berkeliling berpindah tangan
Ini, satu lagi alasan gw selalu ingin kembali ke gunung…
Paginya, gw bangun dengan menggigil. Kami memulai Summit Attack sekitar pukul 6. Track awal yang harus kami lewati adalah pasir vulkanik dengan kemiringan sekitar 50 derajat. Pasir yang cukup gembur cukup menyulitkan pendakian. Naik 2 langkah, kemudian turun selangkah
Track berikutnya adalah batuan vulkanik hasil pembekuan lahar. Track ini lebih mudah dipijak, namun kemiringan track semakin besar. Di beberapa titik, kami harus sedikit memanjat dengan bantuan kedua tangan.
Setelah sekitar 1 jam pendakian yang cukup melelahkan, kami akhirnya tiba di puncak Merapi, di pinggir bibir kawah Merapi. Semua lelah pendakian lunas terbayar.
Matahari bersinar dengan sangat cerah. Dari kejauhan terlihat awan berarak beriringan di bawah kami.
Di bawah kami terlihat dinding vertikal setinggi 200 m yang membentuk kawah yang berbentuk mangkuk sempurna. Dari bagian dasar kawah, terdengar gemuruh yang keras dari gerakan magma dan gas yang berebutan keluar melalui lubang kawah yang memerah.
Gw menoleh ke arah selatan. Terlihat dinding kawah terpecah dan membentuk sebuah celah yang sangat lebar yang terus menuruni gunung hingga ke sungai-sungai besar yang hanya terlihat seperti retakan. Nun jauh di bawah sana, Jogja dengan segala hiruk-pikuknya berdiri…
God, I really love this country….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;