Sore itu udara di kota jogja cukup
lembab. Gerimis yang turun sejak siang meninggalkan genangan2 air di pekarangan
asrama. Kami ber 7 sibuk dengan carrier masing2, memasukkan barang2 yang akan
kami bawa ke dalam tas khusus pendakian itu. Carrier2 itu berbentuk memanjang
ke atas, dengan frame aluminium yang berfungsi untuk menjaga postur tubuh agar
tetap tegak.
Carrier yang gw pakai berukuran
sekitar 45 liter, dengan warna biru-putih yang cukup mencolok. Gw mulai
menyusun isi carrier dengan memasukkan matras dan mengaturnya menjadi lapisan
bagian dalam. Dengan begitu, carrier akan lebih berbentuk dan berdiri tanpa
harus dipegang. ya, gw gak mau repot menahan tas besar itu setiap istirahat.
Matahari mulai turun di ujung barat cakrawala,
membiaskan warna kuning keemasan yang menyejukkan. Kita berangkat dari asrama
menuju ke Selo, basecamp pendakian. Jalan kaliurang sore itu penuh dengan para
pekerja dan mahasiswa yang baru pulang. Mereka semua memenuhi jalan, sebuah
pemandangan yang selalu bisa disaksikan di sore hari. Nun jauh di atas,
segerombolan awan sisa2 hujan berarak menutupi puncak Merapi
Melewati jalan magelang, gw memacu
sepeda motor semakin kencang. Suasana makin gelap, dengan genangan air yang
masih terlihat di pinggir jalan. Udara dingin mulai menusuk tulang, seiring
dengan semakin banyaknya belokan jalan. Udara dingin yang menyegarkan, ciri
khas pegunungan
Memasuki daerah Selo, dua bayangan
raksasa yang hitam pekat menghadang kami. Gunung Merapi dan Merbabu. Sinar
rembulan yang pucat menerobos daun-daun pohon di lereng kedua gunung. Sesekali
tertutup awan yang tidak ingin ketinggalan dalam keindahan suasana malam itu.
Jauh di atas sana, puncak Merapi menghembuskan asap tipis.
Kami sampai di basecamp sekitar
pukul 7 malam. Bangunannya berupa rumah tradisional dengan 2 bangunan utama.
Dibelakang, ada sebuah kamar mandi tanpa lampu, dengan air yang sedingin es.
Bagian dalam ruangan sudah penuh dengan motor. Terlihat beberapa kelompok
pendaki yang sedang istirahat dan menyusun ulang carrier mereka untuk pendakian
malam hari. Kami sendiri memilih untuk istirahat dan memulai pendakian pada
pagi hari.
Beralaskan tikar, kami mengisi perut
yang kosong dengan nasi goreng. Makanan yang cukup mengisi perut kami, walaupun
nasinya terasa kurang matang.
Kami langsung mengeluarkan sleeping
bag dan mulai mencoba memejamkan mata. Mencoba melawan dingin yang menusuk
kaki2, walaupun sudah memakai kaos kaki tebal.
Pagi itu cuaca cukup cerah, cuaca yg
tepat untuk pendakian. Di sebelah utara terlihat hamparan hijau lereng gunung
Merbabu. Terlihat awan menutupi ketiga puncaknya yang menjulang tinggi. Setelah
bersiap2 dan menambah perbekalan dari pasar terdekat, kami memulai pendakian.
Jalur awal masih berupa jalan aspal
sepanjang sekitar 500 m. terlihat beberapa penduduk yang mulai beraktivitas
pada pagi itu. Beberapa terlihat mengumpulkan rerumputan, sedangkan yg lain
bergegas menuju ke pasar di bagian bawah lereng. Jalur aspal ini berakhir di
sebuah tempat bernama New Selo.
Tempat ini berupa sebuah daerah
datar dengan beberapa bangunan warung dan sebuah pendopo. Terlihat beberapa
bangunan baru saja direnovasi, setelah bencana erupsi merapi pada 2010 lalu.
Dari sini, Merbabu terlihat sangat
jelas. Gw memandangi lereng Merbabu yang berlekuk berwarna kehijauan. Matahari mulai
menyembul dari bagian celah kedua gunung ini. Gw melirik jam tangan, pukul
7.30. Langit yang cerah kebiruan, udara yang sejuk. It’s a great time…
Kami melanjutkan lagi perjalanan.
Dari New Selo, jalan mulai berubah menjadi jalan setapak. Terlihat tanah yang
masih agak lembab akibat embun pagi tadi. Tanaman pertanian khas pegunungan
masih terlihat di kanan jalan. Sementara di kiri kami, terbuka jurang yang
memanjang dari atas ke bawah sedalam sekitar 20 m.
Kami berpapasan dengan beberapa
masyarakat yang sedang berkebun. Mengucapkan salam adalah hal yang biasa
dilakukan disini.
Terkadang kami harus memepetkan
badan ke arah tanggul2 ladang di kanan kami, atau ke bibir jurang di kiri kami
apabila berpapasan dengan orang. Jalan setapak yang sempit cukup menyulitkan di
awal2 pendakian.
Tanaman di sekitar kami mulai
berubah. Tidak lagi terlihat ladang penduduk. Vegetasi mulai berganti menjadi
pohon-pohon besar yang rapat. Beberapa burung jalak terbang berkeliling di
sekitar kami.
Sesekali kami berhenti untuk
membongkar minuman, ataupun sekedar untuk mengatur napas yang terengah-engah.
Udara terasa semakin dingin, dan oksigen mulai sedikit berkurang. Kami berusaha
untuk tetap bergerak agar tetap hangat.
Gw kembali melirik jam tangan. Pukul
11.45. kabut terlihat bergerak dari lereng jurang yang tampak hijau pudar,
tertutup tebalnya kabut. Semburat cahaya matahari terlihat menyelusup melalui
kabut.
Kami sampai di batas vegetasi
Merapi. Tanah yang kami injak kini sudah berubah menjadi batu-batu vulkanik.
Kami sampai di daerah pos 2, pos terakhir pendakian. Kita beristirahat sejenak
sambil membasahi kerongkongan. Terlihat sudah cukup banyak pendaki yang telah
mendirikan tenda di pos ini. Pos yang menjadi batas vegetasi ini memang menjadi
salah satu pilihan utama tempat pendirian camp.
Kami melanjutkan perjalanan. Jalan
setapak yang berupa batu dan pasir yang kami lewati berada di punggung bukit.
Di kiri-kanan jalur menganga jurang yang tertutup oleh kabut. Gw melirik ke
bawah. Yang terlihat hanya warna putih keruh, seolah2 jurang-jurang ini tak
berujung.
Di depan kami samar-samar terlihat
batu vulkanik yang sangat besar. Para pendaki menyebutnya Watu Gajah. Ya, batu
abu-abu ini ukurannya memang besar, kira-kira sebesar bis dua tingkat. Gw cuma
bisa membayangkan, gimana batu sebesar itu bisa terlontar keluar dari kawah
Merapi.
Gw akhirnya sampai di puncak bukit
itu. Kabut mulai menghilang sedikit demi sedikit. Di depan gw, terlihat batu
peringatan untuk para pendaki yang wafat di jalur pendakian ini. Batu yang juga
mengingatkan kita betapa besarnya kekuasan Sang Maha Kuasa.
Cahaya matahari yang masih tertutup
kabut memberikan suasana yang sendu di tempat itu. Gw selalu menikmati suasana
ini. Salah satu alasan gw untuk selalu kembali ke gunung…
Di bawah, terlihat sebuah daerah
lapang yang cukup datar dan luas yang penuh dengan bebatuan dan pasir. Di
sebelah utara terlihat sebuah menara yang tingginya sekitar 4 m yang
dikelilingi oleh pagar besi berkarat. Alat inilah yang selalu memantau aktivitas
gunung teraktif di Indonesia ini setiap saat.
Tepat di depan bukit tempat gw
berdiri, menjulang sebuah bayangan besar hitam yang tertutup kabut tipis.
Puncak Merapi berdiri dengan gagahnya, menghembuskan asap tipis di bagian
puncaknya.
Para pendaki dan masyarakat sekitar
menyebut daerah ini Pasar Bubrah. Daerah ini juga salah satu tempat pilihan
untuk membangun camp sebelum melakukan Summit Attack. Letaknya yang tepat
dibawah puncak Merapi menawarkan lansekap yang sangat indah. Meski begitu,
resiko yang diberikan juga cukup besar. Daerah yang cukup luas dan terbuka
tanpa vegetasi menyebabkan kemungkinan terjadinya badai cukup besar, bahkan
pada siang hari.
Belum terlihat ada pendaki yang
membangun camp. Kami dengan leluasa memilih tempat terbaik. Kami mendirikan
tenda disamping sebuah batu setinggi 2 m. batu ini akan sangat berguna sebagai
pemecah angin.
Kami menghabiskan waktu sore itu
dengan beristirahat. Dari jauh samar-samar terdengar sekelompok pendaki yang
baru tiba. Mereka juga memilih untuk membangun camp di sini.
Malamnya seperti biasa, kami
menghabiskan waktu dengan memasak dan mengisi perut. Ternyata keberadaan wanita
memang sangat memberi perbedaan. Kami bisa makan nasi lengkap dengan sayurnya
karena mereka
Gw melirik jam tangan, sekitar pukul
10 malam. Gw keluar dari tenda untuk buang air. Terlihat bulan bersinar terang
di atas puncak Merapi. Awan yang berarak beriringan sesekali menutupi sinarnya.
Gw berusaha menghangatkan tangan
dengan memasukkannya ke dalam kantong jaket coklat gw. Iyus yang juga ikut
keluar mulai menyalakan kompor untuk menyedu kopi. Gw mendekatkan tangan ke
nyala api kompor. Dan dalam waktu beberapa menit kami semua sudah berkumpul di sekeliling kompor.
Malam itu, ksmi ngobrolin apapun,
dengan segelas kopi yang berkeliling berpindah tangan
Ini, satu lagi alasan gw selalu
ingin kembali ke gunung…
Paginya, gw bangun dengan menggigil.
Kami memulai Summit Attack sekitar pukul 6. Track awal yang harus kami lewati
adalah pasir vulkanik dengan kemiringan sekitar 50 derajat. Pasir yang cukup
gembur cukup menyulitkan pendakian. Naik 2 langkah, kemudian turun selangkah
Track berikutnya adalah batuan
vulkanik hasil pembekuan lahar. Track ini lebih mudah dipijak, namun kemiringan
track semakin besar. Di beberapa titik, kami harus sedikit memanjat dengan
bantuan kedua tangan.
Setelah sekitar 1 jam pendakian yang
cukup melelahkan, kami akhirnya tiba di puncak Merapi, di pinggir bibir kawah
Merapi. Semua lelah pendakian lunas terbayar.
Matahari bersinar dengan sangat
cerah. Dari kejauhan terlihat awan berarak beriringan di bawah kami.
Di bawah kami terlihat dinding
vertikal setinggi 200 m yang membentuk kawah yang berbentuk mangkuk sempurna. Dari
bagian dasar kawah, terdengar gemuruh yang keras dari gerakan magma dan gas
yang berebutan keluar melalui lubang kawah yang memerah.
Gw menoleh ke arah selatan. Terlihat
dinding kawah terpecah dan membentuk sebuah celah yang sangat lebar yang terus
menuruni gunung hingga ke sungai-sungai besar yang hanya terlihat seperti
retakan. Nun jauh di bawah sana, Jogja dengan segala hiruk-pikuknya berdiri…
God, I really love this country….
Tidak ada komentar:
Posting Komentar